10 Mitos Menghafal Qur'an dan Faktanya


Setiap orang yang mau menghafal al-Quran pasti akan dihantui mitos (keyakinan tak berdasar), sebelum melangkah. Mitos tersebut kadang berdampak pada melemahnya motivasi atau harapan yang berlebihan usai hafal al-Quran nantinya. Sering terjadi, ketika anak minta izin pada orangtuanya untuk mulai menghafal al-Quran, orang tua melarang atau tidak merestuinya akibat perspektif yang salah tentang dunia hafalan.

Jadi mitos itu bisa meruntuhkan mental diri sendiri dan juga mampu meruntuhkan mental orang lain. Kedua dampak tersebut sama-sama merugikan mereka yang akan menghafal. Anehnya, mitos tersebut justru muncul dari orang yang belum memiliki pengalaman menghafal sama sekali. Dengan kata lain, mereka telah menyesatkan orang lain akibat ketidaktahuan mereka. 

Berikut ini mitos-mitos yang harus diluruskan.

1. Menghafal itu banyak cobaan dan godaan
Konon, cobaan orang yang menghafal al-Quran itu banyak, seperti mengidap penyakit, gangguan lingkungan, musibah keluarga. Sebenarnya sering sekali orang yang sedang menghafalkan al-Quran itu jatuh sakit, tetapi itu lebih diakibatkan faktor eksternal. Mungkin saja kurang olahraga, sedikit gerak, makan tidak teratur menjadi penyebabnya. Jadi, jangan dikaitkan penyakit yang menimpa dengan proses menghafal.
Bila terpaksa kita harus mencari-cari korelasi antara penyakit dengan hafalan, maka akan terjadi lompatan berpikir dan rekayasa logika yang panjang. Misalnya: “Orang yang menghafal menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk. Duduk dalam jangka waktu lama akan mengendapkan lemak dan melambatkan sirkulasi darah. Darah yang terhambat berdampak pada lemahnya fungsi syaraf dan motorik organ. Lemahnya fungsi syaraf mengakibatkan konsentrasi berkurang dan sering pusing. Pusing dalam kurun waktu lama akan mengakibatkan instabilitas kinerja organ lainnya. Inilah yang disebut sakit.” Jika logika itu yang dipakai, maka aktifitas apapun berpotensi datangnya penyakit.
Tak kalah dahsyatnya, konon penghafal al-Quran itu selalu mendapat godaan dari lawan jenis dan maksiat lainnya, terutama saat menghafal surat an-Nisa (wanita). Ini juga mitos yang sama sekali tak berdasar. Pengalaman banyak penghafal al-Quran ternyata tidak mengalami kejadian itu. Seandainya fakta itu ada, kemungkinan besar orang yang bersangkutan telah membawa benih-benih asmara itu sebelum mulai menghafal. Akibatnya, kejenuhan menghafal atau akumulasi keteledoran menjadikannya mencari selingan aktifitas lain sebagai pelarian dan pelampiasan. Menyatukan dua fokus (bercinta dengan menghafal) jelas sangat sulit dan memunculkan masalah baru, yaitu asmara amburadul, hafalan juga hancur. Semakin amburadul, semakin seseorang mencari pelampiasan yang lebih dalam lagi.
2. Jangan menghafal, kalau lupa, dosanya besar
Konon pengahafal al-Quran itu dosanya besar, bila melupakan ayat yang pernah dihafalnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Anas bin Malik:
وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا
Saya diperlihatkan dosa umatku, maka saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibanding dengan surat dan ayat dari al-Quran yang dihafal oleh seseorang lalu ia melupakannya.
Hadis ini menurut al-Albani tergolong dlaif, sehingga dia tidak bisa dijadikan pegangan untuk landasan hukum (halal dan haram). Meski demikian, hadis tersebut masih dapat digunakan untuk motivasi kebaikan (fadlail a’mal). Hadis ini ditujukan tidak hanya pada mereka yang hafal 30 juz saja, tetapi mereka yang hafal satu surat pendek pun, bahkan satu ayatpun kena, apabila pada akhirnya hafalan tersebut dilupakan. Dahulu ketika masih belajar di TPQ atau MI, MTs begitu banyak pelajar yang hafalan ayat atau surat, sebagai persyaratan kelulusan atau penunjang nilai, bila kini ternyata hafalan itu banyak yang menguap (tidak hafal lagi), ia juga menjadi sasaran (khitab) dari hadis tersebut.
Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Lupa telah menjadi ciri dari makhluk Allah yang bernama manusia. Pertanyaan adalah lupa yang seperti apa yang dianggap dosa besar itu? Adakalanya lupa disengaja, adakalanya juga tidak disengaja. Disengaja artinya melakukan suatu kecerobohan/kesembronoan secara sadar lalu berdampak pada hilangnya ayat/surat dari al-Quran. Tidak disengaja artinya segala upaya untuk melanggengkan hafalan telah dilakukan secara kontinyu, namun masih ada saja huruf yang kurang, kata yang tak terbaca atau bahkan terlewatinya satu ayat al-Quran tanpa ada kesengajaan. Jelas kesalahan karena faktor ketidaksengajaan itu akan diampuni oleh Allah, karena di luar kekuatan manusia. Mustahil dijumpai di dunia ini, selain Rasulullah, orang yang menghafal 30 juz tanpa salah/lupa sama sekali. Sementara orang yang sembrono, mungkin dalam waktu sekian bulan tidak memurajaah hafalannya, jelas ini sama halnya menghina Allah. Sang pencipta telah memberi karunia agung berupa hafal al-Quran, lalu karunia itu diterlantarkan. Jadi subtansi masalahnya bukan pada lupanya tapi pada kecerobohannya itu.
Ada logika yang kurang benar pada kata: jangan menghafal, nanti khawatir lupa. Mestinya dibalik: menghafallah agar selalu ingat. Begitu sulitnya kita memurajaah sekian banyak ayat dan surat yang berserakan (sesuai hafalan acak sejak masa kecil dulu). Sementara itu, dengan menghafal keseluruhan, semua ayat yang berserak akan terhimpun teratur dan tertib dari awal hingga akhir dan termurajaah secara rutin. Ungkapan: jangan menghafal, hakikatnya adalah perasaan pesimis kalah yang ditularkan kepada orang lain, sebelum peperangan sungguh-sungguh dimulai. Bisa jadi, orang yang dilarang menghafal itu punya potensi besar menghafal cepat dan bagus, sehingga melarang orang lain menghafal hakikatnya mengkebiri hak orang untuk sukses menjalani kehidupan dunia dan akherat.
Semestinya anjuran menghafal atau tidak menghafal harus datang dari kyai atau ustadz yang sukses menghafal dan memahami persis psikologi menghafal, bukan kyai atau ustadz yang belum pernah atau gagal menghafal. Ibarat dokter, semakin ia kompeten dan memiliki gelar spesialis, semakin ia punya kewenangan untuk mengidentifikasi penyakit tertentu dan memberi resep, serta pasien juga tidak merasa was-was ketika ditangani dokter tersebut.

3. Menghafal itu butuh waktu lama
Konon proses menghafal itu butuh waktu yang sangat lama, betulkah? Sering pertanyaan seputar durasi waktu menghafalkan seperti ini muncul. Ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut sangat bervariasi mulai dari yang super cepat (kurang dari 10 bulan) sampai yang paling lambat di atas 10 tahun, bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Jika jawabannya bervariasi, maka tidak bisa diklaim bahwa menghafal itu pasti memakan waktu lama.
Animo masyarakat muslim terutama di perkotaan untuk menghafal al-Quran kian besar dan tak terbendung, sementara pada saat yang sama mereka dihadapkan pada tuntutan hidup faktual (bekerja, menikah, membesarkan anak, meniti karir, melanjutkan studi, berorganisasi). Lagi-lagi, persoalan yang muncul adalah cukupkah dalam waktu terbatas (1 tahun, 2 tahun dst) semua keinginan itu berjalan simultan.
Memang benar, menghafal al-Quran termasuk kategori Extra Ordinary Memorization(EOM), proyek menghafal yang luar biasa banyaknya, sekitar 600 (full) halaman dengan ratusan kata yang mirip dan ratusan kata non Arab di dalamnya. Dibutuhkan kolaborasi antara psikis, fisik, transeden yang kokoh untuk melakukannya. Ketenangan psikis dibutuhkan agar kerja otak untuk proses menghafal tidak terganggu, fokus dan stabil dalam jangka waktu yang panjang. Fisik yang sehat ikut juga berkontribusi menjaga stabilitas psikis, kinerja mekanis tubuh. Menggerakkan mulut untuk membaca, tangan membuka mushaf dibutuhkan kinerja mekanis tubuh yang sehat. Peran transendental (keyakinan/keimanan), meski kerja di belakang layar, adalah mengatur harmoni psikis dan fisik sekaligus mensupplay tenaga yang maha dahsyat. Seringkali aspek transedental ini mendominasi dan mengambil alih peran psikis dan fisik. Contoh banyak sekali orang buta yang hafal al-Quran, tidak jarang orang yang berbaring sakit sukses menghafal.
Pengalaman membuktikan bahwa perencanaan yang baik dalam menghafal dapat mempercepat tuntasnya hafalan. Tak terhitung jumlahnya para santri tahfidz di Indonesia yang hafal al-Quran kurang dari satu tahun, bahkan di Saudi Arabia ada seorang perempuan yang menyelesaikan hafalan 30 dalam waktu satu bulan. Jadi, menghafal itu tidak harus lama, ia bisa cepat asalkan diorganisir sedemikian rupa sehingga terjadi keseimbangan antara murajaah hafalan baru dan lama, terjadi efektifitas pemanfaatan waktu 24 jam dalam sehari semalam.
4. Menghafal itu membuat pikiran tumpul dan lemah dalam pemahaman
Konon penghafal al-Quran itu kecerdasannya berkurang. Mereka tidak mampu menguasai kitab kuning, jadi sarjana dll. Mitos tersebut hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan hafalan sebagai ghayah (tujuan) bukan wasilah (media/jembatan). Hafalan sebagai tujuan artinya ketika tujuan itu tercapai maka berhentilah segala upaya yang terkait menghafal. Bagi mereka yang penting adalah lancar membaca dan banyak undangan acara khatmil Quran, sehingga tidak ada lagi upaya untuk mendalami bacaan (ilmu qiraat), mempelajari isi kandungannya (tafsir), menggali hukum yang ada di dalamnya (ayatul ahkam), atau mengkaitkan ayata-ayat al-Quran dengan ilmu pengetahuan lain (munasabah). Penghafal seperti ini jelas kehilangan harapan untuk menggali khazanah ilmu al-Quran sehingga kecerdasan otak dan akal menjadi tumpul dan tak terasah. Apa yang ia baca laksana mantra yang hebat meski tak memahami isinya.
Berbeda dengan mereka yang menjadikan hafalan sebagai wasilah saja. Tujuan utama menghafal bagi mereka adalah menguasai sumber hukum Islam, menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi sekaligus pedoman hidup. Kelompok ini tergolong kelompok mayoritas. Hampir semua ulama besar di Timur Tengah hafal al-Quran. Ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Seakan di sini ada dikotomi, ulama al-Quran dan ulama kitab kuning. Juga ada asumsi bahwa ulama al-Quran kurang kompeten dalam menguasai kitab kuning, sebaliknya juga demikian ulama kitab kuning dianggap tidak ada yang hafal al-Quran.
Menurut Abdud Daim al-Kaheel, orang yang hafal al-Quran itu pasti otaknya lebih cerdas dan intelegensinya meningkat. Ia sendiri menceritakan bisa menjadi cerdas akibat menghafal al-Quran.Proses menghafal hakikatnya proses pengasahan otak dalam waktu yang sangat lama. Otak yang telah terasah ini jelas menjadi lebih cerdas dari sebelumnya.
5. Pengahafal al-Quran itu malas bekerja
Karena ada kekhawatiran hafalannya hilang, umumnya penghafal al-Quran fokus dalam setiap waktunya untuk murajaah, sehingga tidak ada waktu untuk bekerja. Kadang tradisi terbiasa tidak bekerja itu terbawa sampai masa tua, selalu merasa canggung untuk bekerja kasar, sehingga terbentuk opini bahwa penghafal al-Quran itu priyayi, dan priyayi itu minta dihormati dan enggan melakukan pekerjaan berat atau kasar. Betulkah demikian?
Jelas mitos di atas tidak benar meski pada kenyataannya sebagian kecil masih ada yang seperti itu. Nama besar seorang “penghafal al-Quran” kadang membuat silau diri sendiri. Kesilauan itu akhirnya membebani diri sendiri secara berlebihan. Beberapa pesantren tahfidz di Indonesia sudah banyak yang menerapkan kurikulum tertentu untuk merubah mindset negatif tersebut dan berupaya menetralisir tabiat “gede rumongso” di kalangan para santrinya. Sebagai contoh: alm. KH. Mustain Syamsuri (pendiri PP. Tahfidz Darul Quran Singosari Malang) melatih santrinya untuk berwirausaha dengan cara memperkerjakan mereka sebagai tukang bangunan, penjual snack keliling, sopir angkot dan sebagainya seusai setoran al-Quran di pagi hari. Dari aspek penampilan, para santri diminta untuk tidak mengenakan simbol kesantriannya (kopiyah, sarung, sorban, baju koko) ketika mereka sedang bekerja. Dari kurikulum interpreneurship tersebut, lahir para alumni yang tidak canggung bekerja kasar dan keras dalam segala bidang kehidupan. Di antara mereka ada penjual rokok keliling, juru parkir, makelar mobil, dosen, guru dan lain. KH. Mustain pernah berpesan: “Hafalan al-Quran itu bukan sumber maisyah (ekonomi), ia semata karunia tuhan dan hanya dipersembahkan untuk-Nya. Ketika bermuamalah dengan orang lain, lupakan status “penghafal al-Quran” itu bergaullah seperti umumnya orang dari aspek acara bicara, cara berpakaian, cara bekerja.”
Jadi penghafal al-Quran itu mestinya memiliki etos kerja tinggi, pekerja keras. Lalu apa dengan bekerja itu tidak mengganggu murajaah harian mereka? Seperti halnya dzikir, murajaah al-Quran -sesuai ayat al-Quran- itu bisa dilaksanakan dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring. Penghafal al-Quran harus pandai-pandai cari tempat atau cari waktu untuk murajaah yang sama sekali tidak mengganggu aktifitas kerja maupun muamalah. Dengan demikian, hafalan al-Quran itu tidak menghalangi orang sedikitpun untuk menjadi orang sukses melalui aktifitas kerja harian.
6. Membaca dengan hafalan itu mereduksi pahala mata (untuk melihat tulisan mushaf)
Konon pengahafal al-Quran itu pahalanya lebih sedikit dibanding pembaca al-Quran dengan mushaf, karena tidak seluruh anggota tubuh ikut aktif pada proses membaca. Padahal, masing-masing peran dari organ tubuh dalam membaca al-Quran itu mendatangkan pahala sendiri-sendiri. Mata melihat mushaf ada pahalanya, telinga mendengar ada pahalanya dan mulut melantunkan ayat juga ada pahalanya.
Memang benar Imam Ghazali dan Qadli Husein (tokoh pada madzhab Syafi’I) berpendapat tentang hal yang sama dengan penjelasan di atas bahwa membaca mushaf itu lebih afdal daripada membaca hafalan. Tetapi yang perlu juga dipahami, kalau melihat mushaf saja pahala, bagaimana dengan proses penyimpanan dan reproduksi memori al-Quran melalui otak, apa peran otak tidak ada pahalanya? Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya “at-Tibyan” keutamaan membaca mushaf daripada membaca hafalan itu terjadi manakala dari aspek kekhusyuan, perenungan makna itu sama baiknya. Berarti kalau dengan membaca hafalan itu seseorang semakin khusu’ dan mampu mentadabburi daripada membaca mushaf, maka membaca hafalan lebih afdal, demikian juga sebaliknya.
Dari aspek lain, setiap huruf al-Quran yang dibaca bernilai sepuluh kebaikan. Jadi semakin banyak ayat dibaca, semakin banyak pula pahala yang didapat. Hanya umumnya penghafal al-Quran frekwensinya baca al-Quran-nya relatif lebih banyak dibanding dengan mereka yang tidak hafal. Sebetulnya tidak ada larangan seorang penghafal itu membaca mushaf, sebagaimana tidak ada keharaman pembaca mushaf untuk menghafal al-Quran. Keduanya tidak saling bertentangan, bila bosan menghafal, ya membaca, Jika bosan membaca, ya menghafal, begitu seterusnya.

7. Penghafal al-Quran itu bacaanya tidak bagus (kurang tartil)
Konon penghafal al-Quran itu tidak ada yang membaca secara tartil, karena terbiasa baca cepat dan mempercepat putaran 30 juz dalam beberapa hari saja. Pernyataan tersebut benar bila tidak digeneralisir. Yakni, memang ada yang demikian, namun ada juga yang bacaannya bagus, murottal sebagaimana ditunjukkan oleh para imam masjid di Mekkah dan Madinah. Di Indonesia, para peserta MHQ (musabaqah hifdzil quran) umumnya memiliki hafalan dan bacaan yang bagus dan murottal.
Bila ukuran penilaian itu dari acara khataman di kampung-kampung, jelas ini tidak fair karena hanya kasuistik dan temporer. Motivasi membaca cepat (hadr) semata memenuhi tuntutan pengundang agar khatam 30 juz dalam waktu maksimal 10 jam (3 juz perjam). Guru besar ilmu qiraat di IIQ Jakarta pernah berpesan: baca cepat itu boleh asal tidak seringa, hanya sebatas “tombo kangen” (pelepas dahaga kerinduan).
Dalam tingkatan bacaan (maratib al-Qiraah), diperbolehkan baca cepat asalkan masih sesuai kaidah tajwid, inilah yang disebut dengan tingkatan hadr. Artinya cepat atau lambat itu diperbolekan bila terbalut dengan prasyarat yang bernama tartil (segala bacaan yang sesuai kaidah). Imam Ali bin Abi Thalib berkata: tartil itu memperbaiki bacaan huruf dan mengetahui tempat wakaf. Kecepatan membaca yang di luar batas wajar (hadzramah) bagaimanapun juga tidak diperkenankan dalam membaca al-Quran, inilah yang menurut Imam Nawawi termasuk bacaan yang diharamkan.

8. Menjaga hafalan itu lebih berat dari menghafal awal
Konon menghafal itu lebih mudah daripada menjaganya. Sebagian orang termasuk para orangtua tidak mengizinkan anaknya atau familinya untuk menghafal al-Quran dengan dalih menjaga hafalan itu berat, bahkan lebih berat dari menghafal itu sendiri. Mitos ini bisa menjadi virus mematikan bagi siapa saja akan menghafal. Virus ini lebih mengedepankan pesimis daripada optimisnya. Anehnya virus ini lebih sering dihembuskan oleh orang yang belum pernah menghafal, dia hanya memandang dari kejauhan dan silau sebelum mendekat.
Padahal begitu masifnya penghafal al-Quran yang merasakan manisnya madu berdzikir al-Quran, sejuknya dekapan untaian al-Quran. Ibarat makanan, delapan jam saja kita tidak mengkosumsinya, tubuh terasa lemah, rindu dan ingin mendekat. Demikian halnya, bagi penghafal al-Quran sehari saja bibir mereka tidak basah dengan nada al-Quran, terasa sangat lapar dan dahaga. Ia bagai oase di tengah panasnya cuaca padang pasir, mampu menyejukkan hati yang gundah serta menyegarkan pikiran yang galau.
9. Sebelum menghafal itu wajib izin pada orang tua/guru
Konon sebelum menghafal al-Quran itu wajib minta restu orang tua/guru, agar mendapatkan ridlo Allah. Mitos ini mengandung unsur benar dan juga sekaligus salah. Unsur benarnya adalah orang tua merasa dihargai dengan permohonan izin tersebut dan restu mereka menjadikan langkah anak semakin mantab, serta doa orang tua/guru memberikan sumbangan energi dahsyat pada kesuksesan anak/murid. Unsur salahnya adalah bila segala bentuk kebaikan itu harus minta izin orang tua, maka begitu beratnya tugas anak. Seringkali ketidaktahuan orang tua tentang hal ikhwal hafalan, mematahkan asa anak untuk menghafal.
Semua orang tua/guru ingin anaknya/muridnya bahagia dalam belajar (dengan makan cukup, tidur nyenyak, ibadah nyaman), sementara menghafal itu proses berat dan melelahkan, sehingga kadang orang tua/guru tidak mengizinkan anaknya/muridnya menghafal. Hindarilah pertanyaan yang apabila dijawab justru kita berat melaksanakannya, itu pesan al-Quran. Anak yang minta izin, kemudian orang tua tidak mengizinkan, tidak etis anak menentang keputusan orang tua. Kekhawatiran terbesar dari mitos keharusan izin ini adalah hilangnya motivasi diri anak/murid untuk menghafal, padahal motivasi ini harta berharga yang sulit dicari dan susah ditumbuhkan kembali ketika memudar dan tenggelam.
Solusi terbaik adalah jalan tengah, seorang anak sebaiknya jangan minta izin, tetapi minta saran, itupun bila dipandang orang tua/guru tersebut memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk menghafal al-Quran.
10. Penghafal al-Quran itu layak dihormati
Konon orang yang hafal al-Quran itu kemanapun selalu dihormati orang lain, disanjung dan dipuja. Seakan rizkinya mengalir deras tanpa kerja berat. Mitos ini menjadi pemicu motivasi banyak orang untuk menghafal al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dari orang yang bersangkutan kepada seorang tokoh yang dihormati dan kebetulan hafal al-Quran. Sah-sah saja motivasi awal menghafal seperti itu, namun sebaiknya dalam perjalanan selanjutnya mitos tersebut sedikit demi sedikit harus dirubah.
Ada beberapa alasan kenapa harus dirubah, yaitu: (1) menuntut ilmu dan ibadah harus dilandasi keikhlasan semata karena Allah, (2) adalah hak orang lain untuk menilai apakah kita layak atau tidak untuk dimuliakan, (3) harapan yang berlebihan dapat mengakibatkan shock berat (stress), bila tidak tercapai, (4) tidak semua orang yang menghafal itu tuntas 30 juz, dan tidak semua yang tuntas itu berkualitas bagus dan lancar, kualitas hafalan yang bagus dan lancar, tidak serta merta mendapatkan pujian atau sanjungan.
Fokus penghafal al-Quran harus diarahkan untuk ta’abbud dan taqarrub pada Allah, serta menyelami dalam dan luasnya samudara ilmu Allah melalui al-Quran. Dapat cercaan tidak emosi dan terus introspeksi, dapat pujian tetap rendah hati. Berharaplah pujian dan kemuliaan langsung dari pemilik al-Quran yaitu Allah swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar