Manajemen Menghafal Qur'an

Manajemen Menghafal al-Quran
Ada fakta bahwa tidak semua orang yang memiliki niat untuk menghafalkan al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga tidak semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak semua orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar dan baik. Demikian juga, tidak semua hafidz diberikan karunia untuk menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu dilantunkannya secara istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itu, perlu kiranya seorang mahasiswa melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar target yang direncanakan bisa tercapai.

1. Manajemen waktu
Pada dasarnya pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, sangat tergantung kepada kenyamanan dan kondisi pribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan sampai, makanya amalkan agama ini dengan benar, perlahan-lahan, dan berilah kabar gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam (untuk mengerjakannya)” ( HR Bukhari )
Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren menghabiskan waktu  3-4 tahun dengan program takhashshus (tahfidz intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal). Sebenarnya, kalau seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat dari waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua halaman, maka dalam kurun waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah tuntas 30 juz. Atau paling tidak, jika perhari menambah hafalan baru setengah halaman, maka dalam waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max. 4 tahun) bisa tuntas semua. Tentu, dengan syarat setiap waktu terbuang harus diganti atau dirangkap tanpa kompromi.
Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit dibanding dengan peserta program takhashshus di pesantren. Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan perkuliahan, dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1 jam), mengikuti perkuliahan (rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari), mempersiapkan ujian UTS, UAS (min. 2 jam), menyelesaikan tugas membuat makalah individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini gambaran perbandingan kegiatan harian antara mahasiswa peserta program tahfidz dan mahasiswa non tahfidz:
Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24 Jam
Kegiatan
Alokasi waktu
Prosentase
Persiapan materi kuliah, ujian dsb
2 jam
8,3 %
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb
4 jam
16, 6 %
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb
1 jam
4,1 %
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb
2 jam
8,3 %
Istirahat, sholat, makan dsb
3 jam
12,5 %
Tidur
8 jam
33 %
Cuci/setrika baju, membersihkan kamar, kerja bakti dsb
2 jam
8,3 %
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb
2 jam
8,3 %
Total
24 jam
100 %
Tabel di atas menunjukkan betapa longgarnya waktu mahasiswa untuk belajar, ibadah, santai dan istirahat. Dengan alokasi seperti ini saja mahasiswa yang komitmen dan konsisten melakukan kegiatan ilmiah dan diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.
Adapun mereka yang mengambil program tahfidz penuh (30 juz), harus menyisihkan waktunya min. 9 jam perhari dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz
Kegiatan
Durasi
Penambahan hafalan baru 1 hal
1 jam
Pengulangan hafalan baru 1/2 juz
1 jam
Setoran hafalan
2 jam
Pengulangan/murajaah harian 3 juz
2 jam
Latihan fashohah, terjemah, tafsir
1 jam
Total
9 jam
Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka komposisi waktu kegiatan menjadi seperti berikut:

Tabel 3: Alokasi Waktu untuk Mahasiswa Tahfidz Setelah Pengurangan
Kegiatan
Alokasi waktu
Prosentase
Persiapan materi kuliah, ujian dsb
1 jam (2-1 jam)
4,1 %
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb
2 jam (4-2 jam)
8,3 %
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb
1 jam
4,1 %
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb
1 jam (2-1 jam)
4,1 %
Istirahat, sholat, makan dsb
2 jam (3-1 jam)
8,3 %
Tidur
5 jam (8-3 jam)
20,8 %
Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb
2 jam
8,3 %
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb
1 jam (2-1 jam)
4,1 %
Tahfidz
9 jam
37,5 %
Total
24 jam
100 %
Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan menghafalkan al-Quran penuh (30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah (latihan hidup prihatin) yang mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya memakan waktu 8 jam dalam sehari semalam, harus dikurangi menjadi 5 jam. Demikian juga semua kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran hobbi semaksimal mungkin dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol, cuci mata dan sebagainya, mutlak harus ditinggalkan. Apabila seorang mahasiswa memiliki tekad kuat untuk menghafal penuh, maka sebaiknya disusun target secara sistematis sebagaimana contoh di bawah ini:
Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4 tahun kuliah
Bulan ke
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
11-12
Tahun pertama
(semester 1-2)
Fashahah binnadhar
juz 1-10
Fashahah binnadhar
juz 11-20
Fashahah binnadhar
juz 21-30
Tahfidz Juz 1
Tahfidz Juz 2
Tahfidz Juz 3
Tahun kedua
(semester 3-4)
Tahfidz juz 4-5
Tahfidz juz 6-7
Tahfidz Juz 8-9
Tahfidz Juz 10-11
Tahfidz Juz 12-13
Tahfidz Juz 14-15
Tahun ketiga
(semester 5-6)
Tahfidz Juz 16-17
Tahfidz Juz 18-19
Tahfidz Juz 20-21
Tahfidz Juz 22-23
Tahfidz Juz 24-25
Tahfidz Juz 26-27
Tahun keempat
(semester 7-8)
Tahfidz Juz 28
Tahfidz Juz 29
Tahfidz Juz 30
Murajaah juz 1-10
Murajaah
Juz 11-20
Murajaah juz 21-30
Pada tahun pertama (semester 1 dan 2) biasanya mahasiswa mendapat beban matakuliah yang banyak (sekitar 24 sks), belum lagi program intensif bahasa dan matrikulasi yang padat, sehingga dirancang enam bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya latihan fashahah, tajwid, dan tanda waqaf saja, mulai juz awal sampai khatam, kemudian pada semester kedua mulai menghafal sedikit demi sedikit, yakni dalam setiap dua bulan ditargetkan satu juz saja.
Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan satu juz saja, berarti minimal perhari harus menambah hafalan satu halaman sehingga dalam waktu 20 hari (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman untuk al-Quran pojok mushaf Madinah atau terbitan menara kudus), sudah genap satu juz dan sisanya dipakai untuk melancarkan.
Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8, biasanya mereka sangat disibukkan oleh program KKN, PPL, penulisan skripsi. Untuk itu target hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz  dalam dua bulan. Pada enam bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat sisa waktu yang cukup untuk menyelesaikan target atau kalau sudah selesai, mereka harus banyak melakukan murajaah dengan harapan dalam setiap dua bulan (dari 6 bulan terakhir) mampu melancarkan minimal sepuluh juz yang telah dihafal. Bisa saja, melakukan pentashihan ke beberapa guru al-Quran di beberapa pondok pesantren.
Contoh alokasi waktu di atas berlaku juga untuk para penghafal dari kalangan mahasiswi, dengan asumsi mereka mengikuti pendapat yang membolehkan wanita yang menstruasi membaca al-Quran seperti Imam Malik dan Imam Ibnu Taimiyah. Namun bagi mereka yang konsisten dengan pendapat yang mengharamkan membaca al-Quran, perlu ada penyesuaian jadwal dan perbedaannya tidak terlalu signifikan, misalnya dari target 2 juz perbulan dirubah menjadi 1,5 juz. Bisa juga target akhirnya sama yaitu selesai dalam waktu 4 tahun, hanya saja jumlah penambahan hafalan harian di tambah, dari satu halaman perhari menjadi 1,5 halaman. Intinya perencanaan itu penting untuk mengawal dan mengarahkan usaha kita agar sesuai cita-cita dan tujuan.
Adapun  waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah (pengulangan) hafalan adalah waktu di sela-sela mengerjakan shalat–shalat sunnah, baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini dikarenakan saat shalat seseorang fokus menghadap Allah, inilah yang membantu kita dalam melancarkan hafalan. Berbeda ketika di luar shalat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya melihat ke kanan atau kiri, atau akan melihat obyek yang dianggap menarik, atau bahkan mungkin seseorang akan menghampirinya dan mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang shalat, temannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu hingga shalat usai dan tidak berani mendekat.
                                                             Target dan Beban Menghafal
Target selesaiWaktu MenghafalWaktu MelancarkanHafalan perhariMurajaah perhari
1 tahun300 hari65 hari30 baris (2 halaman)min 5 juz
2 tahun600 hari130 hari15 baris (1 halaman)min 2 juz
3 tahun900 hari195 hari10 baris (2/3 halaman)min 1,5 juz
4 tahun1200 hari260 hari7.5 (1/5 halaman)min 1 juz
5 tahun1500 hari325 hari6 barismin 1 juz
6 tahun1800 hari65 hari5 baris (1/3 halaman)min 1 juz

2. Manajemen strategi/metode
Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al-Quran, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat efektif, yaitu:
Metode Pertama: Menghafal satu persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara Kudus). Kita membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali, setelah itu kita baru mulai menghafal. Setelah hafal satu halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya dengan cara yang sama. Dan hindari pindah ke halaman berikutnya dalam kondisi hafalan yang labil (belum kuat), agar beban hafalan baru tidak menumpuk.
Metode Kedua : Menghafal ayat per ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.
Untuk menunjang  kualitas bacaan dan hafalan, kita melakukan tasmi’(memperdengarkan) kepada seorang ustadz Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita yang salah. Ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan yang timbul.
Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indera yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi juga membaca dengan mulut kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis, sebagaimana yang diterapkan di sebagian daerah di Maroko, yakni dengan menuliskan hafalan di atas papan kecil yang dipegang oleh murid, setelah mereka menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan air.
Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran juga dapat menguatkan hafalan. Jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf kepada yang lain. Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh penyair dalam tulisannya :
الْعَيْنُ تَحْفَظُ قَبْلَ الْأُذُنِ مَا تُبْصِرُ فَاخْتَرْ لِنَفْسِكَ مُصْحَفَ عُمْرِكَ الْبَاقِيْ
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga, maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “
Ada beberapa model penulisan mushaf, di antaranya adalah: Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al-Quran pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf Pojok) ini paling banyak dipakai oleh para pengahafal Al-Quran, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al-Quran sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Untuk penerbit Indonesia, ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al-Quran yaitu terbitan Menara Kudus.
Faktor lain yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih). Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih), hafalannya cendeung tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima misalnya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang semestinya ada di surat Al-Ma-idah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa (mutasyabihah) yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika menghafalnya :
1- (وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ﴾ البقرة 173 è ﴿وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ) المائدة 3 ، والأنعام 145، و النحل 115
2- (ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير الحق) البقرة 61، آل عمران21 è (وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بغير حق) آل عمرن 112.
Untuk melihat ayat–ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap boleh dirujuk buku–buku Mutasyabihat Al-Quran, karya Abul Husain bin Al Munady,Pedoman Ayat Mutasyabihat, karya KH. Mustain Syafi’i  dll.
3. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali seorang hafidz disibukkan oleh studinya, kegiatan rumah tangga atau sibuk dengan pekerjaan, sehingga kerap kali Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Yang terpenting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita.
Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah menjaga hafalan. Istilah “menjaga hafalan” ini sebenarnya cenderung negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti petugas security (Satpam) yang hanya menjaga dan tidak menikmati apa yang dijaganya. Bayangan yang muncul di benak masyarakat umum, bahwa menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup menjadi lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai sarana hiburan diri.
Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya.
Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah shalat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah.
Dengan model istiqamah seperti ini, bisa jadi seseorang mampu mengkhatamkan hafalannya setiap dua belas hari sekali, tanpa menyita waktunya sedikitpun. Kalau dia mampu menyempurnakan setengah juz setiap hari pada shalat malam atau shalat-shalat sunnah lainnya, berarti dia bisa menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan mampu mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para ulama terdahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali. Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam hari saja, yaitu ketika ia mengerjakan shalat tahajjud. Biasanya dia menghabiskan shalat tahajjudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam itu berapa juz yang ia sanggup baca. Menurut ukuran umum, hafalan yang lancar, bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia boleh menyelesaikan dua sampai tiga juz, dengan dikurangi waktu sujud, ruku, dan duduk tasyahhud.
Ada juga sebagian orang yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam majlis para penghafal Al-Quran. Kalau majlis tersebut diadakan setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib mendengarkan hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu mengkhatamkan Al-Quran setiap lima belas hari sekali.
4. Manajemen tempat
Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal di lingkungan yang acuh tak acuh atau bahkan anti mendengar lantunan al-Quran, akan merasa canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang kondusif, mau menghafal kapan saja dan di mana saja dan dengan cara apapun, dan hal itu tidak ada problem.
Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal adalah masjid. Namun, kadang masing-masing orang memiliki selera dan tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif tempat lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, pesisir, makam, terutama makam ulama-ulama terkenal, seperti makam syeikh Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai tempat menghafal oleh santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”.
Bagi seseorang yang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah di manapun; di atas pesawat terbang, motor, mobil atau di tempat keramaian sekalipun. Terutama, saat mushaf al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel (HP), dengan begitu tidak ada lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu dilakukan dengan suara pelan yang tidak mengusik atau menyita perhatian orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar